kc | Date: Wednesday, 2012-08-01, 10:59 | Message # 1 |
Sergeant
Group: Administrators
Messages: 36
Status: Offline
| Cerita ini diambil dari buku Ajahn Brahm
Ada kisah lama yang saya baca mengenai pemecahan konfilik. Mengenai dua saudari yang bertengkar karena sebuah jeruk. Hanya ada satu buah jeruk di dapur dan keduanya mengiginkannya.
Mereka bertengkar mengenai siapa yang paling layak mendapatkannya. Pada akhirnya mereka berkompromi untuk memotong jeruk ini menjadi dua bagian. Saudari pertama menguliti jeruk itu, membuang kulitnya, lalu makan jeruknya. Ia ingin makan buah jeruknya. Saudari yang kedua menguliti jeruknya dan membuang daging buah jeruknya. Ia membutuhkan kulit jeruknya untuk membuat kue.
Seandainya saja mereka bicara satu sama lain, maka akhirnya yang satu bisa makan seluruh daging jeruknya dan yang kedua memiliki dua kali jumlah kulit jeruk untuk kuenya.
Bukankah demikian pula halnya dalam pertengkaran kita? Jika saja kita bisa menyadari apa yang kita berdua inginkan, maka kita berdua bisa sama-sama puas. Begitu sering konflik yang kita alami di dunia ini terjadi karena kita tidak melihat lebih mendalam pada pertanyaan,"Mengapa kita bertengkar?" Apakah kita benar-benar percaya bahwa kita benar? Bisakah kita benar-benar tahu bahwa gagasan dan pandangan kita adalah kebenaran mutlak?
Kebenaran mutlak adalah keheningan, kedamaian, harmoni, dan kebaikan. Jika ada yang layak disebut kebenaran mutlak, maka pasti itulah keharmonisan, kedamaian, kasih yang bisa membuka pintu hati saya, tak peduli siapa pun Anda atau apa pun yang Anda perbuat, tak peduli apa yang Anda pikirkan. Meskipun Anda berpikir dengar cara yang berbeda total dari saya, meskipun gagasan Anda dan gagasan saya saling bertolak belakang. Anda masih tetap bisa menjadi sahabat saya.
Itulah apa yang disebut cinta kasih tanpa pilih kasih itu. Bukankah di dalam hal itu ada citarasa kebenaran yang mendalam? Sesuatu yang melampaui gagasan dan pandangan kita yang biasa.
Masalahnya bukan dalam pandangannya yang keliru, sebab setiap orang memiliki sudut pandangnya sendiri. Tetapi ketika Anda menyadari dari mana sudut pandang Anda itu berasal, yakni dari pengkondisian, pelatihan, pendidikan, bagaimana kita dibesarkan, dari sahabat, serta teman-teman kita, ketika itu kita menyadari bahwa tiada yang mutlak. Sehingga tidak pernah layak atau berharga untuk bertengkar namun mengorbankan kebaikan hati kita.
Kenapa Anda membuang cinta kasih hanya untuk menjadi benar? Kita sering melakukannya, terhadap keluarga, sahabat, atau orangtua. Kita seharusnya tahu kapan kita keliru. Ada seorang biksu yang melihat dua biksuni tengah bertengkar siapa yang benar dan siapa yang salah. Biksu ini mengatakan, "Jika kalian bertengkar, maka kalian berdua salah!"
Karena keduanya salah, maka terjadi pertengkaran. Ada banyak kebenaran di balik hal ini. Kita malah luput dari maknanya saat kita bertengkar. Kita bisa berdebat atau berdiskusi baik-baik, namun jangan bertengkar untuk membuktikan siapa yang benar dan siapa yang salah.
|
|
| |